Tuesday, November 15, 2011

..Maaf Yang Tertunda..


     “ Irfan, bangun sayang.” Teriak mama dari lantai bawah.
     “ Ahh.. berisik!” gerutuku sambil menutup telinga dengan bantal lalu melanjutkan tidur.
     “ Irfan, bangun sayang. Udah jam 8, nanti kamu telat ke kampus, kan katanya kamu masuk pagi.” Teriak mama lagi.
Aku tak menghiraukan teriakan mama.
     “ Irfan, bangun  dong sayang.” Suara langkah kaki mama terdengar menaiki tangga. Suaranya makin dekat dan akhirnya...
  “ Irfan, bangun dong nak, nanti kamu telat loh ke kampus.” Mama membuka pintu kamarku lalu membangunkanku.
     “ Akh.. ntar dulu ahh.. bentar lagi.”
     “ Irfan, nggak pake bentar-bentaran Fan, bangun sekarang. Nanti kamu telat sayang.”
     “ Akh.. bawel banget sih. Bilang aja mau minta dianterin arisan sekalian.” Aku bangun lalu masuk kamar mandi. Ku banting pintu kamar mandi sambil mengeluh.
     “ Astagfirullah Irfan.” Mama hanya mengelus dada melihat tingkahku. Lalu mama pun keluar dari kamar. Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku segera turun ke bawah.
     “ Nih sayang, sarapannya udah mama siapin. Dimakan dulu.” Mama menungguku di meja makan.
     “ Nggak usah. Ntar aja makan di kampus.” Jawabku sinis sambil mengikat tali sepatu.
     “ Loh, ini kan udah mama siapin, ngapain makan di kampus, makan disini aja ya sayang.”
     “ Aku bilang nggak, ya nggak ma. Ngerti nggak sih!” aku membentak mama.
Mama kaget mendengar ucapanku. Mama hanya diam, dan tersenyum.
     “ Ya udah, tapi nanti kamu harus makan ya di kampus.” Kata mama pelan.
     “ Iya, bawel banget sih!” aku berjalan meninggalkan ruang makan menuju ruang tamu. Lalu langkahku terhenti, dan aku menoleh ke belakang.
     “ Mau bareng nggak, mau arisan kan?” tanyaku pada mama. Mama tersenyum.
     “ Nggak sayang. Mama nggak ada jadwal arisan hari ini. Kamu berangkat aja. Hati-hati ya.”
     “ Hufh.. arisan kok ada jadwalnya. Dasar ibu-ibu. Ya udah aku jalan dulu.”
     “ Waalaikum sallam.” Kata mama menyindirku karena tidak mengucapkan salam begitu keluar rumah.
     “ Iya, assalamu alaikum ma.”
     “ Waalaikum sallam. Bawa mobilnya jangan kenceng-kenceng ya Fan.”
     “ He’eh.”
Aku membuka pintu mobil lalu melaju ke kampus.
Ternyata ketika aku berangkat ke kampus, mama menangis. Air matanya berlinang. Ia tak pernah menyangka bahwa aku akan berubah menjadi anak yang pembangkang. Mama adalah single parent, papa meninggal sejak 3 tahun lalu karena kecelakaan. Ia membesarkanku seorang diri, membiayai kebutuhanku dengan pekerjaannya sebagai seorang manager keuangan di salah satu perusahaan. Banyak lelaki yang berusaha mendekatinya dengan tujuan ingin menjadi suaminya, tapi mama menolak. Ia bilang, hanya ada 3 orang di dunia ini yang ia sayangi untuk selamanya, dan takkan pernah tergantikan, yaitu, orangtuanya, aku, dan papa. Mama memang seorang wanita yang setia, baik, penuh perhatian, pengertian, sabar, dan juga cantik. Mama begitu sabar dengan tingkahku sekarang. Aku yang dulu dan sekarang berbeda. Dulu aku anak yang penurut, tapi kini aku jadi anak pembangkang. Aku seperti ini bukan karena kemauanku, melainkan pergaulan yang memaksaku seperti ini. Semenjak aku masuk kuliah semester dua, aku berubah. Aku jadi sering merokok, minum-minuman keras, dan berkelahi. Aku jadi sering membentak mama, dan tidak mendengarkan perintahnya. Dulu mama pernah berusaha menyadarkanku, tapi aku malah berbuat kasar dengan mama. Mama hanya bisa sabar, dan menunggu keajaiban yang menyadarkanku.
     “ Akh.. bete gue, nyokap ngoceh mulu.” Gerutuku sambil menghisap rokok.
     “ Namanya juga nyokap-nyokap, ya pasti bawel lah. Udah, cuekin aja, rajin amat lu dengerin ocehan dia.” Temanku Anton menepuk pundakku.
     “ Iya juga ya, tapi kan gitu-gitu dia nyokap gue cuy.” Kataku sambil menaikkan alis mata.
     “ Ya gua juga tau itu nyokap lu, tapi dari pada lu pusing dengerin ocehannya dia, mending lu diemin aja. Ntar juga dia capek sendiri.”
     “ Terserah lu dah.“ Aku menempeleng kepala Anton.
     “ Irfan...” terdengar suara perempuan yang aku kenali. Lalu aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu Diva, mantan pacarku yang seminggu lalu baru memutuskanku gara-gara aku tidak mendengarkan larangannya untuk tidak berkelahi.
     “ Ada apa?” tanyaku agak cuek. Aku sedikit kesal dengannya, karena ketika dulu aku berkelahi dengan sahabatnya, Adit, ia lebih membela Adit dibanding aku.
     “ Kamu belum berubah juga ya Fan, kamu masih sering ngerokok kaya gini?” tanya Diva padaku.
     “ Iya, emang kenapa? Masih peduli kamu sama aku?”
     “ Kamu tuh kenapa sih Fan, kamu berubah tau nggak, mama kamu tuh sering cerita sama aku gimana kelakuan kamu di rumah. Kasian mama kamu Fan.” Diva agak marah.
     “ Heh, kamu tuh nggak usah ikut campur urusan aku lagi ya. Nggak inget apa kamu baru aja mutusin aku minggu lalu?” nada bicaraku mulai meninggi. Diva hanya diam, matanya berkaca-kaca.
     “ Asal kamu tau ya Fan, kita emang udah putus. Tapi aku nggak akan biarin kamu jadi anak durhaka sama mama kamu. Dan asal kamu tau, alesan aku mutusin kamu dulu, karena aku pengen kamu berubah. Tapi nyatanya kamu malah makin parah. Aku nyesel masih sayang sama kamu sampe sekarang. Dan buat lo Anton, gara-gara lo Irfan jadi kaya gini, lo emang pembawa masalah tau nggak.” Diva pergi sambil mengusap air matanya.
     “ Va, aku nggak bermaksud kaya gitu Va, dengerin aku dulu Va, Diva..” aku berteriak, tapi Diva mengabaikannya.
     “ Udah lah, diemin aja. Cewek kaya dia tuh nggak penting. Bisa kita cari lagi. Tiga kali lipat malah.” Anton menonjok pelan pundakku. Aku berbalik menatap Anton.
     “ Eh, gue tuh sadar ya sekarang, selama ini gue jadi ancur ngikutin lo. Gue jadi ngelawan sama nyokap gue. Dan itu semua gara-gara lo. Brengsek lo Ton.” Aku melayangkan satu pukulan di pipinya. Terlihat darah dari sudut bibirnya.
     “ Nyesel gua kenal sama lo.” Aku pergi meninggalkannya. Ia menatapku tajam, seakan ingin membalas dendam.
Waktu terus berputar, jam kuliahku telah usai. Aku ingin segera pulang dan meminta maaf dengan mama. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku yang membuat mama sakit hati. Ketika aku sedang berjalan menuju parkiran, aku melihat Anton dan teman-temannya yang juga berandalan menatapku tajam. Ku lanjutkan langkahku hingga terhenti tepat di depan wajah Anton.
     “ Minggir dong, gue mau masuk mobil.” Kataku pelan.
     “ Mau masuk? Masuk neraka aja sekalian, biar gue yang nganterin.” Anton memegang kerah bajuku dan membawaku ke tengah lapangan parkir. Diva melihatnya, ia mencoba menghampiriku, tapi aku melarangnya. Diva segera berlari yang aku pun tidak tau kemana tujuannya.
     “ Halo, Assalamualaikum.” Mama mengangkat telpon.
     “ Halo tante.” Ternyata Diva menelpon mama.
     “ Iya halo. Ada apa Diva?” tanya mama tenang.
     ” Tante, Irfan tante, Irfan mau digebukin sama temen-temennya.“ Kata Diva panik.
     “ Astagfirullah, emang Irfan salah apa Va?” mama juga mulai panik.
     “ Penjelasannya panjang tante, nanti aja Diva jelasinnya, sekarang tolongin Irfan dulu tante. Diva nggak tega ngeliatnya.” Diva mulai berlinangan air mata.
     “ Iya, iya, tante kesana ya sekarang.”
     “ Iya tante.” Diva mematikan teleponnya. Ia berlari menuju lapangan parkir. Aku yang berlumuran darah tidak berdaya hanya bisa diam, pasrah.
     “ Berhenti.” Diva berteriak, tapi Anton dan teman-temannya tidak menghiraukan.
Tak lama sebuah mobil berhenti di tengah kerumunan. Itu mama, ia menjerit, berlari menghampiriku. Ia memelukku yang tengah berlumuran darah, ia menangis. Dan saat itu Anton dan teman-temannya tidak menyadari bahwa ada mama di sampingku. Ia terus memukuliku, menendangku, dan pada akhirnya, mama juga ikut terpukul. Mama pingsan, kepalanya berdarah, dan pada saat itu juga, Anton baru menyadari bahwa ia telah memukul mama.
     “ Woy, nyokapnya Irfan tuh.” Anton menunjuk mama.
     “ Ma.. mama.. bangun ma..” aku menggoyang-goyangkan tubuh mama, berusaha menyadarkannya.
     “ Lu tonjok ya Ton?” tanya salah satu temannya.
Aku geram, mataku merah, aku tak bisa terima mamaku terluka. Aku berdiri memegang kerah baju Anton. Dan aku memukulnya dengan sekuat tenaga. Ia terjatuh, darah keluar dari sudut bibirnya, ia mengusap darahnya, dan lari meninggalkanku. Aku melihat mama, air mata membasahi pipiku, rasa bersalah menyelimuti tubuhku.
     “ Ma.. mama.. bangun ma. Maafin Irfan ma, bangun.” Aku memeluk mama erat. Diva menghampiriku, ia membawaku dan mama ke rumah sakit. Begitu sampai di rumah sakit, mama segera dimasukkan ke dalam ruang UGD. Karena darah yang keluar dari kepala mama cukup banyak, pipinya pun memar. Aku ingin menunggu mama di depan ruang UGD, tapi seorang suster menghampiriku dan menyuruhku untuk ikut dengannya dan mengobati lukaku. Setelah lukaku selesai diobati, aku segera berlari ke ruang UGD. Kebetulan saat aku tiba di depan ruang UGD, dokter yang memeriksa mama keluar.
     “ Dokter, gimana keadaan mama saya?” tanyaku panik, Diva berusaha menenangkanku.
     “ Kamu anaknya?” tanya dokter tenang.
     “ Iya, saya anaknya, gimana keadaan mama dok? Baik-baik aja kan?”
     “ Hm, mama kamu kehilangan banyak darah. Dan sekarang, suster sedang memeriksa persediaan darah di tempat penyimpanan darah. Kamu tenang dulu ya.” Dokter menjelaskan. Tak lama kemudian seorang suster datang.
     “ Dokter, persediaan darah AB+ habis dok.” Kata suster itu.
     “ PMI belum mengirim stock darah?” tanya dokter.
     “ Ambil darah saya aja dok.” Aku mulai panik.
     “ Nggak bisa dik, kamu kan juga luka parah, kamu juga butuh darah.” Dokter melarangku.
     “ Nggak apa-apa dok, saya akan baik-baik aja.” Aku memaksa.
     “ Tetap nggak bisa dik. Suster, sekarang kamu telpon PMI, cek apa ada stock darah AB+ disana.” Perintah dokter
    “ Baik dok.” Suster itu pergi. Aku lemas, hanya bisa berharap mama tertolong. Ingin sekali ku meminta maaf pada mama, tapi kini mama sedang terbaring lemah tak berdaya. Aku melihat mama lewat jendela, air mataku berlinang. Diva menyuruhku untuk sabar.
     “ Kalau sampai hari ini mama kamu tidak mendapat donor darah, kemungkinan mama kamu untuk bisa bertahan, hanya sampai besok. Maaf, bukan saya ingin menakut-nakuti kamu.” Aku tercengang mendengar kata dokter.
     “ Dokter, sekarang juga ambil darah saya dok. Ambil.” Nada bicaraku mulai meninggi.
     “ Nggak bisa dik. Ini bisa membahayakan diri kamu juga.” Dokter tetap melarangku.
    “ Lebih baik saya mati, dari pada saya harus ngeliat mama saya kesakitan kekurangan darah.”
   “ Hm, oke. Kamu memang anak baik. Semoga mama kamu bisa selamat ya. Baiklah, kita cek dulu apakah darah kamu cocok dengan mama kamu.” Akhirnya dokter memperbolehkanku untuk mendonor. Aku masuk ke lab, dan petugas lab mengambil darahku untuk dicek. Dan ternyata hasilnya negatif, aku lupa, golongan darahku sama dengan papa, tapi tidak sama dengan mama. Kini aku hanya bisa pasrah, aku minta pada dokter untuk menjenguk mama di dalam, dan dokter mengizinkan. Aku masuk dan duduk di samping mama. Ku pegang tangannya, ku ciumi tangannya.
   “ Ma.. bangun. Irfan sayang mama.” Kataku sambil menangis. Diva yang berada di sampingku terlihat begitu lelah. Aku tidak tega melihatnya, dan aku menyuruhnya pulang untuk istirahat di rumah. Diva pun pulang. Aku masih menatap mama, air mataku berlinang.
    “ Jangan tinggalin Irfan ma, Irfan sendiri di sini. Irfan butuh mama.” Aku membelai pipi mama yang memar. Aku menemaninya, selalu di sampingnya, sampai-sampai aku tertidur. Dan saat aku terbangun, mama belum juga sadar. Saat aku ingin masuk ke kamar mandi, tiba-tiba nafas mama tersendat-sendat. Aku panik.
   “ Ma.. mama kenapa ma.. sadar ma.” Matanya terbuka, air matanya menetes, nafasnya masih tersendat-sendat. Aku memanggil dokter.
   “ Ma, ini Irfan ma. Mama sadar ma.” Dokterpun datang, ia membawa sekantung darah, ternyata dokter sudah menemukan darah yang cocok untuk mama. Dokter menyuruhku untuk menunggu di luar, karena dokter ingin memeriksa keadaan mama. Aku melepaskan genggaman tanganku dari mama, ia menoleh ke arahku, air matanya bercucuran. Aku meninggalkannya  dengan berat hati. Setengah jam berlalu, aku diliputi rasa takut. Dan akhirnya dokterpun keluar, aku menghampirinya, dan menanyakan keadaan mama.
    “ Keadaan mama kamu sudah kembali normal, tapi sekarang mama kamu masih dalam pengaruh obat bius. Dan mama kamu akan dipindahkan ke ruang perawatan, karena menurut saya, keadaan mama kamu sudah stabil.” Dokter menjelaskan.
     “ Boleh saya liat keadaan mama saya dok?” tanyaku pelan.
   “ Silakan. Tapi kamu jangan sampai mengganggu mama kamu ya. Dia butuh istirahat.” Dokter menepuk pundakku pelan. Aku menganggukan kepala, lalu masuk ke dalam ruang perawatan.
  “ Ma.. maafin Irfan ma.” Aku tak henti-hentinya meminta maaf pada mama. Dan ketika aku sedang membaca koran sambil menjaga mama, mama tersadar, ia menoleh ke arahku.
     “ Mama.. mama udah sadar? Alhamdulillah.. Irfan seneng banget mama udah sadar.” Wajahku sumeringah. Saking senangnya, aku terus mengajak mama bicara, sampai-sampai aku lupa meminta maaf padanya. Dan begitu aku ingat, aku langsung mendapat sebuah ide. Aku ingin membeli bunga untuk mama sebagai tanda permintaan maafku. Aku menelpon Diva, dan mengajaknya untuk menemaniku membeli bunga untuk mama. Aku minta izin pada mama untuk keluar sebentar, mama hanya tersenyum. Setelah aku membeli bunga untuk mama, aku segera kembali ke rumah sakit.
     “ Aku nggak sabar Va, pengen minta maaf ke mama.” Aku tersenyum senang.
   “ Aku seneng kamu udah bisa tersenyum lagi.” Diva menggenggam tanganku. Aku mengambil setangkai bunga mawar, dan memberikannya pada Diva.
     “ Aku juga minta maaf ya sama kamu. Aku banyak salah sama kamu.”
     “ Iya, aku juga minta maaf ya, karena aku terlalu cerewet sama kamu.” Diva tertawa.
     “ Nggak apa-apa lagi Va, kamu cerewet juga buat kebaikan aku juga kan, makasih ya Va. Hm, kamu mau nggak jadi pacar aku lagi? Aku janji nggak akan kaya dulu lagi. Aku nyesel Va. Gara-gara aku kaya gitu aku hampir kehilangan mama, dan aku juga udah kehilangan kamu. Kalian berdua orang yang paling aku sayang setelah papa.” Diva tersenyum manis.
     “ Iya, aku mau. Kita lupain aja ya kejadian yang udah berlalu, sekarang kita jalanin hidup untuk jadi lebih baik dari kemarin.” Aku mengangguk, tak terasa kami sudah sampai di depan pintu kamar perawatan mama. Dan aku pun membuka pintu kamar mama, ternyata di dalam ada dokter dan suster.
     “ Ada apa ini dok?” tanyaku panik.
     “ Mama kamu sedang koma, saya mohon kamu tunggu di luar. Biarkan kami bekerja.” aku keluar, bunga yang kubeli untuk mama terlepas dari genggamanku.
     “ Kenapa sih, setiap aku mau minta maaf sama mama, selalu aja tertunda. Apa Allah nggak ngizinin aku buat minta maaf ke mama?” tanyaku pada diri sendiri.
     “ Nggak gitu Fan, Allah akan selalu ngasih kesempatan hambanya untuk minta maaf. Kamu cuma perlu sabar.” Diva menenangkanku.
     “ Tapi sekarang mama lagi koma, gimana kalau sampai dokter nggak bisa nyelamatin mama. Itu tandanya aku bener-bener nggak bisa minta maaf sama mama.” Aku putus asa.
     “ Kamu nggak boleh ngomong kaya gitu Fan. Kamu harus positif thinking. Yakin kalau mama kamu bisa selamat.”
Tak lama, dokterpun keluar. Ia memberi tahu keadaan mama padaku.
     “Mama kamu.. selamat. Ia ingin bertemu kamu.” Kata dokter sambil tersenyum.
     “ Alhamdulillah.” Aku segera masuk. Dan duduk di samping mama.
     “ Ma, maafin Irfan ya. Irfan nyesel ma.. Irfan mau berubah.maafin Irfan ya ma. Irfan sayang mama.”Aku menggenggam tangan mama, mama tersenyum, ia membelai rambutku.
     “ Mama juga sayang kamu. Mama maafin kamu sayang.”
     “ Oh iya, aku lupa, ini, aku ada bunga untuk mama, sebagai tanda permintaan maafku ke mama.” Setelah dokter memberi tahu bahwa mama selamat, aku langsung mengambil bunga yang tadi terjatuh. Mama tersenyum.
     “ Makasih ya sayang.” Aku mengangguk dan langsung memeluknya.
     “ Irfan sayang mama.” Aku mencium dahi mama. Dan aku berjanji dalam hati, aku akan berubah. Kan ku tinggalkan roko, dan minuman keras yang menyesatkanku dulu. Aku akan fokus kuliah, dan menjaga mama. Membuatnya bahagia sampai akhir hayatnya. Love you mom..













_ TAMAT _

No comments:

Post a Comment